MALUKUEXPOSE.COM,SAUMLAKI-Tinggal hitungan 35 hari lagi, tepatnya tanggal 22 Mei 2022, masa jabatan Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Tanimbar, Petrus Fatlolon – Agustinus Utuwaly, berakhir. Namun ketidakharmonisan kedua pemimpin dengan Jargon FATWA ini sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Padahal, duet kepemimpinan keduanya memiliki kesamaan tujuan, maka semua pekerjaan akan dituntaskan bersama untuk kemaslahatan rakyat Bumi Duan Lolat. Menuntaskan janji kampanye dan melaksanakan visi misi yang telah dicanangkan saat maju di Pilkada lima tahun lalu.
Ke-egoisan keduanya makin terlihat pada masa-masa akhir jabatan mereka. Dimana saat para wakil rakyat daerah ini menggelar rapat paripurna dalam rangka pengumuman akhir masa jabatan bupati dan wakil bupati masa jabatan 2017 – 2022, pada Senin (18/4), Wabub Utuwally tak menampakan batang hidungnya.
Saat hal ini ditanyakan ke Bupati Fatlolon, tentang ketidakhadiran pasangannya tersebut, dirinya malah menyarankan agar ditanyakan langsung kepada Wabub. Alasannya sangat simpel, karena menurut orang nomor satu di daerah yang memiliki budaya bakar batu ini, bahwa yang bersangkutan (Wabub) lebih mengetahui keberadaannya.
“Tentang ketidakhadiran dan dimana saja, lebih tepatnya ke beliau saja, karena dia yang tahu ada dimana,” ujar Bupati Fatlolon.
Namun Bupati merasa yakin kalau undangan untuk hadiri rapat paripurna tersebut telah disampaikan. Hal itu dipertegas oleh Sekwan maupun Ketua DPRD setempat. “Mungkin beliau berhalangan saja, tapi saya kira tidak kurangi semangat untuk terus kita melayani sampai tanggal 22 Mei nanti,” tegasnya.
Hal ini sangatlah disayangkan, sebab
sejatinya kepala daerah dan wakilnya ibaratnya chef dan barista, sedangkan warganya adalah konsumen yang harus dilayani dengan baik. Bukan sebaliknya. Legacy dan nama baik harusnya ditinggalkan. Bukan catatan buruk yang tersisa di noktah sejarah.
Akibatnya, berbagai visi misi diantaranya Tanimbar cerdas, berwibawa, bermartabat dan mandiri dengan berbagai penjabarannya tidak tercapai. Dengan melabeli empat capain kesuksesannya yakni perubahan nama kabupaten dari Maluku Tenggara Barat ke Kabupaten Kepulauan Tanimbar, perolehan opini WTP pada laporan keuangan pemda sebanyak dua kali oleh BPK RI Wilayah Maluku.
Berikutnya terkait perjuangan perolehan PI 10 persen Blok Masela untuk KKT, serta sukses menyelenggarakan pesta MTQ Provinsi Maluku ke-29.
Hal ini menjadi tanda tanya publik, mengingat empat capaian yang diklaimnya itu hanyalah berupa konsep pikir yang tak terarah. Mengapa? Sebab jika mengklaim keberhasilan perolehan PI 10 persen Blok Masela, dimana akhirnya pemerintah pusat memutuskan bahwa PI 10 persen ini diberikan kepada Maluku dan kemudian kedua daerah yakni Maluku Barat Daya (MBD) dan KKT meminta porsinya, dan akhirnya masing-masing dibagi tiga persen. Padahal MBD yang boleh dikatakan hanya ‘duduk manis’ saja mendapat porsi yang sama dengan KKT, yang publik pun tahu anggaran milyaran dihabiskan ke Jakarta karena berbondong-bondong temui pempus.
Disisi lain, tentang opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam laporan keuangan pemda. Namun faktanya hutang-hutang pihak ketiga yang menembus milyaran rupiah tak mampu diselesaikan. Padahal banyak pekerjaan proyek menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK). Tak pelak defisit pada kas daerah tak bisa dibendung. Sedankan mengenai perubahan nama kabupaten MTB – KKT, tidaklah relevan kalau diklaim itu karena perjuangan pemerintahan sekarang ini, karena sebelumnya telah ada kerja keras dan perjuangan eksekutif – legislatif.
Terhadap sukses MTQ, KKT boleh berhasil menjadi tuan dan nyonya rumah yang baik, bahkan meraih juara umum. Namun apakah sukses pertanggung jawaban MTQ sebagai salah satu target sukses sudah terwujud? Mengingat sampai berita ini dipublish, pertanggung jawaban MTQ blm selesai disusun Panitia. Apakah ini yang diklaim tentang kesuksesan capaian atau masih menyimpan BOM waktu.
Terlepas dari capain itu, bupati dan wakil bupati dianggap gagal dalam menjaga pemerintahan ini tetap bermartabat, dengan ketidakmampuannya menjaga keharmonisan bersama. Perseteruan terbuka ini sungguh tidak elok dan hanya menggambarkan ketidakharmonisan personal yang memang telah berlangsung pasca-kemenangan mereka di pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2017 lalu. Gesekan politik baik saat koalisi dibangun, kekompakkan saat kampanye hingga ketidakjelasan komitmen pembagian tugas pemerintahan usai terpilih merupakan beberapa faktor terjadinya ghosting politik.
Wakil Bupati merasa tidak dilibatkan, sementara Bupati mengganggap dirinya bisa mengerjakan sendiri tanpa kontribusi wakil. Padahal komunikasi birokrasi seharusnya menjadi ‘koentji’.
Tidak hanya di level jabatan bupati dan wakil bupati. Bahkan dalam keseharian, kedua pucuk pimpinan ini tidak pernah bertegur sapa dan saling menghindar. Akibat konflik yang akut, mereka pecah kongsi dalam membawah ‘Kapal Pembangunan’ Duan Lolat.
Perbedaan asal partai politik harusnya tidak merenggangkan keharmonisan tetapi saling menguatkan untuk tujuan kebangsaan yang lebih besar. Kesetiaan kepada partai harus berakhir pada saat kesetiaan kepada bangsa dimulai. Keserakahan akan materi dan ingin menunjukkan siapa yang paling berkuasa dan terhormat harusnya ditanggalkan untuk tujuan yang lebih bermartabat. (**)